Click to set custom HTML
BUDAYAWAN BETAWI :
BUDAYA BETAWI TIDAK AKAN PUNAH
oleh : Nurlaela
“Jika
satu budaya saja hilang, maka Negara kita akan kehilangan jati diri. Jangan
lagi katakan ada Indonesia jika kita tidak memiliki budaya” kata Direktorat
Pembinaan Kesenian dan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia,Edi Irawan. Dia menyampaikan ketidaksepakatannya terhadap pernyataan
salah seorang guru besar Universitas Indonesia yang meramalkan budaya Betawi
akan punah satu generasi mendatang.
Pernyataan tersebut disampaikan Guru Besar FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Universitas Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Budyatna. Menurutnya ada dua alasan. Pertama karena ketidakpeduliaan orang Betawi terhadap budayanya sendiri. Kedua penggusuran orang Betawi ke daerah pinggiran. Dari jumlah 4 juta orang Betawi, tinggal 25 % saja yang tinggal di provinsi DKI Jakarta.
Edi menambahkan, “Tidak setuju jika secara besar dikatakan punah. Namun memang hal-hal kecil dari bagian tersebut hampir punah” kata dia saat ditemui di kantornya di kawasan Senayan, Jakarta (30/7).
Menurutnya, pengembangan kebudayaan Betawi masih terus dikembangkan ditengah masyarakat seperti upacara kawinan masyarakat Betawi yang dikenal dengan sebutan Palang pintu. Tarian tradisonal Betawi yang diperlombakan juga pantun yang kian marak dikumandangkan di media-media TV, “Acara lawak sekarang juga kan sering main pantun-pantun”. Serta kulinernya yang masih bisa dijajakan, seperti kerak telor, bir pletok, dodol dan beberapa jenis lainnya.
Penolakan senada juga disampaikan seorang Budayawan Betawi yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Betawi. “Kehilangan satu unsur kebudayaan adalah bencana nasional” kata Yahya Andi Saputra, saat ditemui diruang kerjanya di kawasan Kuningan.
Yahya mengakui jika kampung-kampung tempat berkumpulnya etnis Betawi perlahan menghilang seiring pertumbuhan kawasan industri. “Kuningan itu dulunya kampung Betawi. Tapi liat Kuningan sekarang” kata dia sambil menunjuk gedung-gedung yang mengelilingi kantornya di gedung Nyi Ageng Serang.
Baginya kebudayaan Betawi terus mengalami perkembangan. Dia mencontohkan kini sedang dibangun Pusat Kebudayaan Betawi di daerah Jatinegara. “Dibangun untuk membudayakan kembali” katanya. Selain itu keberadaan Setu Babakan dianggap punya andil besar dalam perkembangan budaya yang notabene berdomisili di Jakarta ini.
Budaya Betawi dan budaya manapun, bagi Yahya akan terus bertahan jika masyarakat masih terus mengembangkannya. Jika tidak maka perlahan budaya tersebut juga akan punah. Sementara bagi Edi, cara mempertahankan budaya itu sendiri dengan cara menunjukkan eksistensinya dengan metode kekinian. “Disesuaikan dengan keadaan masyarakat sekarang tanpa menghilangkan nilai aslinya.”
Pernyataan tersebut disampaikan Guru Besar FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Universitas Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Budyatna. Menurutnya ada dua alasan. Pertama karena ketidakpeduliaan orang Betawi terhadap budayanya sendiri. Kedua penggusuran orang Betawi ke daerah pinggiran. Dari jumlah 4 juta orang Betawi, tinggal 25 % saja yang tinggal di provinsi DKI Jakarta.
Edi menambahkan, “Tidak setuju jika secara besar dikatakan punah. Namun memang hal-hal kecil dari bagian tersebut hampir punah” kata dia saat ditemui di kantornya di kawasan Senayan, Jakarta (30/7).
Menurutnya, pengembangan kebudayaan Betawi masih terus dikembangkan ditengah masyarakat seperti upacara kawinan masyarakat Betawi yang dikenal dengan sebutan Palang pintu. Tarian tradisonal Betawi yang diperlombakan juga pantun yang kian marak dikumandangkan di media-media TV, “Acara lawak sekarang juga kan sering main pantun-pantun”. Serta kulinernya yang masih bisa dijajakan, seperti kerak telor, bir pletok, dodol dan beberapa jenis lainnya.
Penolakan senada juga disampaikan seorang Budayawan Betawi yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Betawi. “Kehilangan satu unsur kebudayaan adalah bencana nasional” kata Yahya Andi Saputra, saat ditemui diruang kerjanya di kawasan Kuningan.
Yahya mengakui jika kampung-kampung tempat berkumpulnya etnis Betawi perlahan menghilang seiring pertumbuhan kawasan industri. “Kuningan itu dulunya kampung Betawi. Tapi liat Kuningan sekarang” kata dia sambil menunjuk gedung-gedung yang mengelilingi kantornya di gedung Nyi Ageng Serang.
Baginya kebudayaan Betawi terus mengalami perkembangan. Dia mencontohkan kini sedang dibangun Pusat Kebudayaan Betawi di daerah Jatinegara. “Dibangun untuk membudayakan kembali” katanya. Selain itu keberadaan Setu Babakan dianggap punya andil besar dalam perkembangan budaya yang notabene berdomisili di Jakarta ini.
Budaya Betawi dan budaya manapun, bagi Yahya akan terus bertahan jika masyarakat masih terus mengembangkannya. Jika tidak maka perlahan budaya tersebut juga akan punah. Sementara bagi Edi, cara mempertahankan budaya itu sendiri dengan cara menunjukkan eksistensinya dengan metode kekinian. “Disesuaikan dengan keadaan masyarakat sekarang tanpa menghilangkan nilai aslinya.”
Kuda Lumping
Pertunjukkan Seni atau Eksploitasi ?
Oleh : Nurlaela
Anda ingat dengan lagu dangdut melayu yang menceritakan Kuda Lumping ? dalam syair lagu yang berbunyi,
“Anehnya permainan ini
Orangnya bisa lupa diri
Dia makan kaca,
Juga makan rumput
Aduhai ngeri sekali”
Syair lagu tersebut setidaknya bisa menggambarkan salah satu kesenian yang kita miliki. Kuda lumping tentunya. Kuda lumping merupakan salah satu tari tradisional Jawa. Tarian dengan menggunakan kuda yang terbuat dari anyaman. Pemeran kuda lumping akan menjalankan aksinya ketika ada arwah yang merasuki dirinya. Saat dia kesurupan, aksi makan beling menjadi tradisi. Selain itu, pertunjukkan ini juga menampilkan pertunjukkan lain. Seperti melepaskan diri dari tong, acrobat, juga menyemburkan api.
Tak kalah magis, salah satu pertunjukkan menampilkan seorang anak dibalut dengan kain putih (serupa pocong), kemudian diikat dengan tambang, yang membuat dia tak bisa bergerak. Anak tersebut kemudian dimasukkan kedalam tenda yang ditutup dengan kain hitam. Sebelum dimasukkan kedalam tenda, anak tersebut mendapat suguhan mantra dari Pa’e (panggilan pemimpin kelompok). Konon mantra tersebut yang akan membantu ia melepaskan ikatan di dalam tenda tersebut.
Namun sayangnya, kesenian ini terkesan memanfaatkan peran anak dalam beberapa lakonnya. Meski sekilas terlihat menarik, adegan ini terbilang cukup berbahaya. Menyemburkan api, menerima cambukan sebagai hukuman, juga bertindak sebagai inti dari kesenian ini, kesurupan Kuda Lumping dengan tradisi memakan beling.
“Disayangkan ya, ini pertunjukkan hiburan atau eksploitasi anak ?” ungkap Indra, salah seorang pengunjung.
Jika Anda ingin menyaksikan kesenian ini, Kota Tua bisa menjadi salah satu tujuan utama. Kota yang dahulu bernama Jayakarta ini, selain dipadati bangunan tua dengan nilai sejarah tinggi juga dipadati berbagai pertunjukkan kesenian. Tak hanya seni kuda lumping, pantomim, pecinta ular hingga pedagang pun tumpah ruah di area ini. “Layaknya pasar malam” ungkap Cahya salah seorang pengunjung.
“Anehnya permainan ini
Orangnya bisa lupa diri
Dia makan kaca,
Juga makan rumput
Aduhai ngeri sekali”
Syair lagu tersebut setidaknya bisa menggambarkan salah satu kesenian yang kita miliki. Kuda lumping tentunya. Kuda lumping merupakan salah satu tari tradisional Jawa. Tarian dengan menggunakan kuda yang terbuat dari anyaman. Pemeran kuda lumping akan menjalankan aksinya ketika ada arwah yang merasuki dirinya. Saat dia kesurupan, aksi makan beling menjadi tradisi. Selain itu, pertunjukkan ini juga menampilkan pertunjukkan lain. Seperti melepaskan diri dari tong, acrobat, juga menyemburkan api.
Tak kalah magis, salah satu pertunjukkan menampilkan seorang anak dibalut dengan kain putih (serupa pocong), kemudian diikat dengan tambang, yang membuat dia tak bisa bergerak. Anak tersebut kemudian dimasukkan kedalam tenda yang ditutup dengan kain hitam. Sebelum dimasukkan kedalam tenda, anak tersebut mendapat suguhan mantra dari Pa’e (panggilan pemimpin kelompok). Konon mantra tersebut yang akan membantu ia melepaskan ikatan di dalam tenda tersebut.
Namun sayangnya, kesenian ini terkesan memanfaatkan peran anak dalam beberapa lakonnya. Meski sekilas terlihat menarik, adegan ini terbilang cukup berbahaya. Menyemburkan api, menerima cambukan sebagai hukuman, juga bertindak sebagai inti dari kesenian ini, kesurupan Kuda Lumping dengan tradisi memakan beling.
“Disayangkan ya, ini pertunjukkan hiburan atau eksploitasi anak ?” ungkap Indra, salah seorang pengunjung.
Jika Anda ingin menyaksikan kesenian ini, Kota Tua bisa menjadi salah satu tujuan utama. Kota yang dahulu bernama Jayakarta ini, selain dipadati bangunan tua dengan nilai sejarah tinggi juga dipadati berbagai pertunjukkan kesenian. Tak hanya seni kuda lumping, pantomim, pecinta ular hingga pedagang pun tumpah ruah di area ini. “Layaknya pasar malam” ungkap Cahya salah seorang pengunjung.